This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 31 Mei 2020

MENYESAL SAAT SAKARATUL MAUT

Melihat Nabi Muhammad saw. di Madinah menjadi magnet bagi masyarakat Madinah. Mereka berkeinginan agar Nabi Muhammad tinggal di rumah-rumah mereka. Tidak lain agar mereka bisa dekat dengan nabi dan rasul terakhir tersebut. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Nabi Muhammad menemukan sebidang tanah milik dua orang anak Yatim Sahl dan Suhail. Di sinilah dibangun rumah Nabi Muhammad. Di tanah yang sama, tepat di samping rumah dibangun Masjid Nabawi untuk tempat ibadah umat Islam.

Masjid Nabawi yang berdempetan dengan rumah Nabi menjadi pusat kegiatan umat Islam pada saat itu. Mulai dari tempat Nabi Muhammad mengajarkan ajaran islam hingga tempat umat Islam menyusun rencana perang. Tempat yang sangat strategis ini menarik para sahabat untuk tinggal di sekitarnya. Mereka berbondong-bondong membangun rumah di sekitaran Masjid Nabawi dan rumah Nabi agar dapat melanjutkan shalat lima waktu bersama, bergabung dengan majelis ilmu dan hikmah yang dilaksanakan oleh Nabi, dan lain sebagainya.

Namun ternyata, tidak semua sahabat memiliki suka untuk tinggal dekat dengan kediaman Nabi dan Masjid Nabawi. Ada satu sahabat yang lebih memilih tinggal berjauhan dengan Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam.  Namanya Sya'ban. Rumahnya paling jauh dari rumah yang dilihat Nabi Muhammad dan Masjid Nabawi jika dibandingkan dengan sahabat-sahabat lainnya. Disebutkan bahwa jarak rumah Sya'ban dengan Masjid Nabawi atau rumah Nabi kira-kira tiga jam jalan kaki. Meski demikian, Sya'ban tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah bersama yang dilihat Nabi Muhammad. di Masjid Nabawi.

ALKISAH, Sya’ban RA adalah seorang sahabat yang tidak menonjol dibandingkan sahabat-sahabat yang lain. Ada suatu kebiasaan unik dari Sya’ban RA ini, yaitu setiap masuk masjid sebelum sholat berjamaah dimulai dia selalu beritikaf dipojok depan masjid.

Dia mengambil posisi di pojok bukan karena supaya mudah senderan atau tidur, namun karena tidak mau mengganggu orang lain dan tak mau terganggu oleh orang lain dalam beribadah. Kebiasaan ini sudah dipahami oleh sahabat bahkan oleh RasululLah Shallallahu `alaihi Wa Sallam, bahwa Sya’ban RA selalu berada di posisi tersebut termasuk saat sholat berjamaah.

Suatu pagi saat sholat subuh berjamaah akan dimulai RasululLah Shallallahu `alaihi Wa Sallam mendapati bahwa Sya’ban RA tidak berada di posisinya seperti biasa. Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam pun bertanya kepada jamaah yang hadir apakah ada yang melihat Sya’ban RA. Namun tak seorangpun jemaah yang melihat Sya’ban RA.

Sholat subuhpun ditunda sejenak untuk menunggu kehadiran Sya’ban RA. Namun yang ditunggu belum juga datang.
Khawatir sholat subuh kesiangan, Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam memutuskan untuk segera melaksanakan sholat subuh berjamaah.

Selesai sholat subuh, Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam bertanya apa ada yang mengetahui kabar dari Sya’ban RA.
Namun tak ada seorangpun yang menjawab.

Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam bertanya lagi apa ada yang mengetahui di mana rumah Sya’ban RA. Kali ini seorang sahabat mengangkat tangan dan mengatakan bahwa dia mengetahui persis di mana rumah Sya’ban RA. Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam yang khawatir terjadi sesuatu dengan Sya’ban RA meminta diantarkan ke rumah Sya’ban RA.

Perjalanan dengan jalan kaki cukup lama ditempuh oleh Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam dan rombongan sebelum sampai ke rumah yang dimaksud. Rombongan Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam sampai ke sana saat waktu afdol untuk sholat dhuha (kira-kira 3 jam perjalanan).

Sampai di depan rumah tersebut beliau Shallallahu `alaihi Wa Sallam mengucapkan salam. Dan keluarlah seorang wanita sambil membalas salam tersebut.

“Benarkah ini rumah Sya’ban RA?” Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam bertanya.

“Ya benar, saya istrinya” jawab wanita tersebut.“

Bolehkah kami menemui Sya’ban RA, yang tadi tidak hadir saat sholat subuh di masjid?”.

Dengan berlinangan air mata istri Sya’ban RA menjawab:
“Beliau telah meninggal tadi pagi”

InnaliLahi wainna ilaihirajiun…Subhanallah , satu-satunya penyebab dia tidak solat subuh berjamaah adalah karena ajal sudah menjemputnya.

Beberapa saat kemudian istri Sya’ban bertanya kepada Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam,

“Ya Rasul ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu menjelang kematiannya dia berteriak tiga kali dengan masing–masing teriakan disertai satu kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya”.

“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam. Di masing–masing teriakannya dia berucap kalimat,

“Aduuuh, kenapa tidak lebih jauh.”
“Aduuuh, kenapa tidak yang baru.“
“Aduuuh, kenapa tidak semua.”

Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam pun melantukan ayat yang terdapat dalam surat Qaaf (50) ayat 22 yang artinya:

“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.“

Saat Sya’ban RA dalam keadaan sakratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bukan cuma itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apa yang dilihat oleh Sya’ban RA (dan orang yang sakratul maut), tidak bisa disaksikan oleh yang lain.
Dalam pandangannya yang tajam itu Sya’ban RA melihat suatu adegan di mana kesehariannya dia pergi pulang ke Masjid untuk sholat berjamaah lima waktu.

Perjalanan sekitar 3 jam jalan kaki sudah tentu bukanlah jarak yang dekat. Dalam tayangan itu pula Sya’ban RA diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah–langkah nya ke Masjid.

Dia melihat seperti apa bentuk surga ganjarannya. Saat melihat itu dia berucap:

“Aduuuh, kenapa tidak lebih jauh.”

Timbul penyesalan dalam diri Sya’ban RA, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih banyak dan surga yang didapatkan lebih indah.

Dalam penggalan berikutnya Sya’ban RA melihat saai ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin. Saat ia membuka pintu berhembuslah angin dinginyang menusuk tulang. Dia masuk kembali ke rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Jadi dia memakai dua buah baju.

Sya’ban RA sengaja memakai pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar. Pikirnya jika kena debu, sudah tentu yang kena hanyalah baju yang luar, sampai di masjid dia bisa membuka baju luar dan solat dengan baju yang lebih bagus.

Dalam perjalanan ke tengah masjid dia menemukan seseorang yang terbaring kedinginan dalam kondisi yang mengenaskan.
Sya’ban RA pun iba , lalu segera membuka baju yang paling luar dan dipakaikan kepada orang tersebut dan memapahnya untuk bersama–sama ke masjid melakukan sholat berjamaah.

Orang itupun terselamatkan dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan sholat berjamaah.

Sya’ban RA pun kemudian melihat indahnya sorga yang sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut.
Kemudian dia berteriak lagi :

“Aduuuh, kenapa tidak yang baru.“

Timbul lagi penyesalan di benak Sya’ban RA. Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala yang begitu besar, sudah tentu ia akan mendapat yang lebih besar lagi seandainya ia memakaikan baju yang baru.

Berikutnya Sya’ban RA melihat lagi suatu adegan saat dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke segelas susu. Bagi yang pernah ke tanah suci sudah tentu mengetahui sebesar apa ukuran roti arab (sekitar 3 kali ukuran rata-rata roti Indonesia)

Ketika baru saja hendak memulai sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta diberikan sedikit roti karena sudah lebih 3 hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal tersebut, Sya’ban RA merasa iba.

Ia kemudian membagi dua roti itu sama besar, demikian pula segelas susu itu pun dibagi dua. Kemudian mereka makan bersama–sama roti itu yang sebelumnya dicelupkan susu, dengan porsi yang sama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian memperlihatkan ganjaran dari perbuatan Sya’ban RA dengan surga yang indah.
Ketika melihat itu diapun berteriak lagi:

“Aduuuh, kenapa tidak semua.”

Sya’ban RA kembali menyesal. Seandainya dia memberikan semua roti itu kepada pengemis tersebut tentulah dia akan mendapat sorga yang lebih indah.

Masya Allah, Sya'ban RA bukan menyesali perbuatannya, tapi menyesali mengapa ia tidak optimal dalam beramal. Wallahu a'alam.
Rahimakumullah Sya'ban. []

Senin, 13 Januari 2020

Gotong Royong di Atas Sampan

Piliput : Nasarudin Amin
TERNATE – Pekik suara adzan maghrib pecah di puncak menara Masjid Nurul Bahar, kala itu matahari mulai terbenam ke peraduan, puluhan lampu di Kelurahan Tomalou, Kecamatan Tidore Selatan dinyalakan bergiliran. Saat itu wartawan media ini tengah berada di Dermaga, salah satu dermaga yang dijadikan pusat ivent Festival Kampong Nelayan Tomalou pada 15 - 23 Februari 2020 mendatang.

Orang-orang yang tadinya batobo  (mandi pantai) di dekat dermaga tak lagi terlihat, mereka sudah pulang ke rumah masing-masing. Satu pemandangan yang berbeda dengan Kelurahan lainya. Ketua Pemuda Tomalou, Abdullah Dahlan bercerita, anak-anak di Kampung ini tumbuh dan berkembang di tepi laut.

Anak-anak Tomalou. @foto: Koko Sinay


Gulungan ombak seperti teman bermain, mereka sering menyaksikan orang tua mereka mencari nafkah di laut. Dalam histeriografi Indonesia modern, kalangan nelayan tradisional Tomalou memandang laut sebagai sumber kehidupan. “Di sini, dahulu berjejer puluhan fiber (kapal penangkap ikan), tapi sekarang sudah mulai redup, ada banyak variabel dari luar yang berkontribusi terhadap mundurnya nelayan bukan hanya di Tomalou, tapi nelayan di Tidore pada umumnya,” katanya.

Menurut Abdullah, sebelum krisis moneter melanda bangsa ini. Nelayan Tomalou hidup sejahtera, kebutuhan hidup selalu terpenuhi. Bahkan saat musim panen tiba, bau asin menusuk hidup ditengah cuaca terik. Bahkan saat krisis mencapai puncaknya, era reformasi membuka kran kebebesan.
Tapi itu tak berlaku lama bagi nelayan Tomalou, bagaiamapun juga, krisis telah mereduksi ekspektasi nelayan di kampungnya, mereka memilih beralih profesi, ada yang jadi tukang bangunan, ada juga yang memilih menjadi petani tahunan. Kenyataan itu telah menghantar mereka ke titik sadar.

Rupanya hasil perenungan itu telah membawa Abdullah bersama warga di Kampungnya bermimpi lagi bahwa meski era sudah berubah, namun jiwa sebagai nelayan tetap terpatri dalam jiwa orang-orang Tomalou. Mereka segera merancang sebuah ivent festival kampong nelayan.

Tajuknya patut diancungi jempol, bahkan orang sekelas Rocky Gerung pun harus geleng-geleng kepala dan mengakui kemampuan orang Tomalou mendesain sebuah ivent yang diberi tajuk “Menjaring Kekuatan Di Atas Sampan”. Menurut Rocky, yang dilakukan di Tomalou adalah satu festival. Dalam bahasa Eropa adalah pesta, pertunjukan, pameran, memperlihatkan tanpa ada yang disembunyikan. “Di Desa yang kecil ini memperlihatkan bahwa Jakarta adalah Ibu Kota kekuasaan, tetapi di Tomalou adalah Ibu Kota pikiran,” ucap Rocky dalam dialog singkat di Tomalou belum lama ini.

Rocky Gerung (tengah) didampingi Sofyan Daud (bertopi) dan Abdullah Dahlan, di lokasi Festival Kampung Nelayan Tomalou.


Begitu pun Budayawan yang juga anggota DPRD Maluku Utara, Sofyan Daud yang menjelaskan bahwa Kampung Tomalou sangat identic dengan civil society. Tomalou benar-benar menjadi komunitas yang mandiri, jarang sekali bergantung pada belas kasihan pemerintah. Karena itu masyarakatnya rata-rata kritis.

Sejak masa kesultanan, selain kampung ini memiliki eksistensi sebagai nelayan, juga sebagai pasukan mariner kesultanan. Riwayat penjelajahanya bahkan sampai di pesisir Sulawesi, bahkan jejaknya bisa ditemui sampai di Kalimantan. “Festival ini mudah-mudahan menjadi ikhtiar, menjadi cara basudara (persaudaraan) di Tomalou bisa berbagi, secara kedalam ini menjadi ajang bisa mengkonsolidasi lagi ingatan, tekad, untuk merawat tradisi yang ada, kemudian keluarnya mau berbagi. Di sini sumber penghidupanya benar-benar di laut,” singkatnya.

Karena itu tema “Menjaring Kekuatan di Atas Sampan” menjadi pilihan yang diusung. Abdullah menjelaskan, tema ini memiliki dasar filosofi yang kuat berkaitan dengan Kampung Tomalou dan Laut. “Kata sampan ini saya identikkan dengan perahu, kebetulan Tomalou ini sejak dulu memang punya etos di laut, sehingga kita menggunakan kata Sampan, sampan ini memiliki semanat perubahan, soal bagaimana kita menghidupkan kembali etos yang sudah mulai punah pelan-pelan ini,” jelasnya Ketua KPU Kota Tidore Kepulauan itu.

Selain itu, pria yang ditemu mengenakan kameja hijau tua itu juga mengaku bahwa nelayan dan warga di kampong itu juga aktiv dalam kegiatan konservatif, seperti menjaga peraian di pesisir Tomalou agar tetap bersih, itu dilakukan secara begotong royong. Baginya, ini adalah cara nelayan mempertahankan nilai-nilai yang sudah tertanam sejak dulu.

Hari sudah mulai gelap, wartawan media ini sebelumnya sudah mewawancarai Lurah Tomalou, Ishak Lukman. Saat itu ia bertutur, kegiatan gotong royong di Kelurahan Tomalou sudah hidup ratusan tahun lalu. Mata pencaharian moyang orang-orang di Kampung ini selalu terkait dengan laut. Mereka melakukannya secara bersama-sama secara. “Karakter itu sudah tertanam hingga sekarang. Rasa persaudaraan itu terus dipupuk sampai sekarang,” tuturnya. 
Jadi, walaupun beda pilihan, beda pemikiran, warga di Kampung itu tetap akan bergotong-royong saat komando sudah keluar dari kepala Kampung (kepala kelurahan). Artinya, warga di kampong yang ia pimpin ini memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi. “Ada kerelahan dan keikhlasan untuk bergotong royong untuk kampong. Tradisi itu dari dulu. Biasa komando itu tergantung pimpinan di Kelurahan,” kisahnya.

Ishak berkisah, ketika itu tahun 1970. Kepala Kampung sebelumnya, Ahmad Hasan membangun etos leluhurnya, rasa humanisme yang dibangun menjalar sampai ke akar-akarnya. Sekarang di kelurahan yang ia pimpin itu bahkan sudah memiliki yayasan kesejahteraan yang orientasinya untuk kegiatan-kegiatan sosial.

Contoh kegiatan konservasi secara bergotong royonh yang digalakkan warganya adalah membangun sapti tank secara bergotong royong tanpa membutuhkan bantuan Pemerintah. “Sebelumnya memang saluran pembunagna kotoran manusia dibuang langsung ke laut. Sekitar 42 titik yang tersebar di Kelurahan Tomalou,” ucapnya.

Tetapi sekarang sudah tidak ada. Warga secara sukarela dan bergotong royong membangun sapti tank. Itu supaya kotoran tersebut tidak langsung terbuang ke laut, tetapi ditampung di dalam bak penampungan kotoran. Kata Ishak, dari 42 titik saluran pembuangan itu, 20 titik lebih dibangun semasa Lurah sebelumnya dijabat oleh Abdul Kadir Din, kemudian setelah ia menjabat, seluruh sisa saluran pembuangan tersebut ia selesaikan bersama warga.

Sebelumnya, Ishak juga berkisah, dahulu jumlah fiber milik nelayan di kampung ini berjumlah sekitar 60 unit lebih, paska krisis semua fiber tersebut mulai terdistorsi lalu punah, kini tinggal 15 unit kapal inkamina, kapal jenis fiber yang diberikan dalam program bantuan Menteri Kelauatan dan Perikanan Tangkap. “Kapal-kapal fiber ini sementara beroperasi di daerah Bacan,” jelasnya. 

Jasman Abubakar, tokoh masyarakat Tomalou yang saat itu ditemui di dermaga Tomalou, lingkungan RK 1 mengatakan. Tradisi gotong royong merupakan falsafah hidup orang-orang di kampungnya. Karena itu, tradisi ini harus terus digerakkan mesinya.

“Kesadaran ini harus terus kita pupuk di tengah-tengah masyarakat yang hidup di masa keterbukaan seperti ini, yang terkadang orang lebih individualistic, karena itu kita harus banyak melakukan kegiatan yang melibatkan seluruh masyarakat, dan ini adalah hal yang positif,” ujarnya seraya menambahkan masyarakat di kampungnya sudah memulai hal yang baik. (*)


@NB: Tulisan ini telah diterbitkan di koran Fajar Malut, Edisi Senin 13 Januari 2020.

Rabu, 20 November 2019

Rum

Tulisan Syahidussyahar (Om Jojo)

Rum
(Surat untuk kawan Budi Djanglaha)

Emisryah Al-Khaidir
Bekerja di Ruma koffi rampa
Tinggal di Soarora, Tidore 

Tempat kecil ini tepat lurus menghadap ke tengah Ternate. Kota bandar sibuk, silau pijar, ramai orang datang & pergi. Memandangnya dari Rum itu sebuah kontras, disana semua kemeriahan tersaji, disini kesunyian beku mendekap batu-batu Fort Tsjobee. Dua kota, dua pertanda, dari sejarah masa lalu yang paradoks. Gamlamo disana, Castiglia disini. Dibawah fort Tsjobee, tugu Spanyol berdiri kaku, sebuah tugu beton untuk mengenang Captain Juan Antonio De Elcano kawan Fransisco Serrao yang “membelot” ke raja Charles V dari Spanyol. Mengepalai sebuah ekspedisi gemilang saat itu, karena menemukan Maluku pada abad XIV itu sebuah prestise. Memandang tepat ke jantung bandar Ternate, membayangkan alasan kedatangan para "conquestador” itu. Disini, di Rum, tepat di sebuah sore tiga jam sebelum matahari terbenam, pada hari Jumat tanggal 6 November tahun 1521. Dipandu oleh dua orang Melayu penunjuk jalan, lambung Victoria dan Trinidad membusung angkuh melego jangkar. Segala kemeriahan upacara tersaji, rupa-rupa paji & bandera, meriam-meriam menggelegar, soldado berbaju perang berbaris dihaluan tanda sukacita.

Dua hari setelah itu Raja Sultan Mansoor datang berkunjung. Diantar dengan iringan kora-kora, duduk dibawah tirai sutra yang melindunginya dari semua arah terik matahari, dihadapannya duduk salah satu puteranya sambil memegang tongkat kerajaan, dan dua orang lagi memegang kendi emas untuk menyirami tangannya, dua orang lainnya memegang dua kotak berisi tempat sirih pinang. Naik ke atas kapal sang Sultan menolak untuk membungkuk, maka ia memasuki haluan dari atas kapal. Diatas kapal semua orang menciumi tangannya. Duduk dikursi belapis beludru merah, ia diselimuti sepotong jubah beludru berwarna kuning yang terbuat dalam gaya Turki sebagai tanda penghormatan. Raja Sultan Mansoor, raja Tidore orang Moro, masih muda, sekitar 45 tahun, seorang astrolog handal, raja bijak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Naif tapi juga agung, demikian (alm.) Des Alwi menggambarkannya. Dibandar ini, 495 tahun lalu ia pertama kali bertemu dengan De Elcano, kuasa asing Eropa pertama yang datang ke Tidore. Dihadapan Del Cano, sang Sultan berujar, “Mulai hari ini dan seterusnya pulau ini jangan lagi disebut Tadore tetapi Castiglia, karena kasih sayang kami yang besar kepada Raja Spanyol”.

Disini di bandar ini, Rum. Tersembunyi dikaki pulau vulkanik eksotis Tadore, dibawah puncak menjulang Marijang yang diselimuti awan putih melingkar laksana surban para darwis Persia. Dilereng batunya Cengkeh, pala dan kayu manis ranum bertumbuh ratusan luas tanah, mashyur lampaui nusa semenjak peradaban bangsa Assyria, Sumeria, Mesir dan Somalia hingga Timur Tengah, Cina, Asia Tenggara, dan India. Mengutip Brierley dalam Syaiful Bahri Ruray (2010:5) ”... Queen of Sheba brought precious stones, gold and spices to Solomon in 992 BC, and 3000 pounds of pepper...”. Semua bukti-bukti itu menunjukkan bahwa bandar kecil ini memiliki peran penting dalam jalur perniagaan rempah sejak zaman purba. Eropa baru datang ke Maluku pada abad ke-15, ketika buah emas ini telah menjadi komoditas yang sedemikian terkenalnya di jalur Sutera sebagai jalur perniagaan melalui Asia yang menghubungkan Timur dan Barat. Dibawa oleh orang-orang dagang China dan Arab menggunakan karavan dan kapal laut, jalur perdagangan rempah itu melintasi rute Utara melalui Bulgar-Kipchak ke Eropa Timur dan Semenanjung Crimea, menuju Laut Hitam, Laut Marmara, dan Balkan ke Venesia, sementara itu rute Selatan melewati Turkestan-Khorasan menuju Mesopotamia dan Anatolia, Antiokia di selatan Anatolia menuju ke Laut Tengah atau melalui Levant ke Mesir dan Afrika Utara sejak ribuan tahun lalu. 

Pada Abad ke-15 cengkeh dan pala kemudian membuat para bangsawan Spanyol dan Portugis tak bisa nyenyak, aromanya menembus ke jantung Castil para raja, menggoda nafsu para conquestadore itu untuk datang. Des Alwi (2006:102) mencatat hasil perniagaan cengkeh dan pala yang didapat Spanyol dan Portugis di pasar Eropa pada abad ke 16 adalah 1-1,5 juta poundsterling per-tahun angkut. Jika dikonversi dengan kurs dollar saat ini, maka nilainya setara dengan 50-100 Juta Dollar AS. Sebuah keuntungan dagang yang fantastis, yang dipakai sebagai modal untuk membangun kota-kota di Eropa yang terang-benderang saat ini.

Siapa sangka, dulu bandar kecil ini memiliki arti begitu penting dalam percaturan ekonomi-politik global. Terutama untuk Portugis & Spayol, dua gurita maritim raksasa yang sibuk berseteru memperebutkan jalur pelayaran untuk menganeksasi sumber-sumber daya alam baru di Maluku Kie Raha. Pertikaian demi pertikaian yang menyebabkan Paus Yulis II dari Roma harus turun tangan untuk mengatur pembagian jalur pelayaran melalui Perjanjian Tordesilllas (7 Juni 1494), yang membagi dunia di luar Eropa menjadi duopoli eksklusif antara Spanyol melalui jalur sebelah barat kepulauan Tanjung Verde (lepas pantai barat Afrika) dan Portugal di sebelah timur. Menyusul perjanjian Saragosa yang secara spesifik membagi jalur pelayaran ke Maluku.  Ia, semua karena cengkeh dan pala, buah emas yang menggegerkan dunia itu. Jan Huygen van Linschoten, seorang musafir pengelana abad ke-16 menulis dalam karyanya yang masyhur “Itineraria, Voyage ofte Schiptvaert naer Oost ofte Portugaels Indien”, tentang Kepulauan Maluku, khususnya Ternate dan Tidore “...pulau-pulau kecil ini tak punya apa-apa, kecuali cengkeh. Tapi begitu banyaknya, sehingga seperti ternyata mampu memenuhi dunia ...” 

Perjalanan ke pulau cengkeh ini pula yang telah memberikan kontribusi penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa, terutama yang berkaitan dengan geografi. Bandar tua ini menjadi titik pembenaran teori pengetahuan. Ia berhasil membuktikan hipotesis Galileo-Galilei yang kemudian diteruskan oleh Copernicus, bahwa bumi berbentuk bulat (geosentris), bukan datar dan berbentuk persegi empat (heliosentris) sebagaimana doktrin suci Gereja Roma sekian ratus tahun sebelumnya. Rum, membuktikan eksistensinya sebagai titik nol dunia, meminjam catatan Nani Djafar (Malut Post 26 Maret 2016) bahwa Rum adalah titik yang menguak kebenaran pemikiran Copernicus setelah de Elcano dengan kapal Trinidad dan Victoria berlabuh di pantai barat Pulau Tidore pada tahun itu. 

Dulu, ditahun-tahun yang telah purba, pulau ini pernah menjadi labuhan yang begitu penting bagi dunia. Rum, ia pernah punya sebuah catatan gemilang. Dulu, segala rupa kuasa asing lalu lalang, datang & pergi silih berganti disini, karena buah emas yang mashur itu, mempengaruhi jantung bandar niaga Dunia hingga Eropa pada abad ke-14, pula sekaligus membongkar doktrin Gereja Roma tentang bentuk bumi (heliosentris) sebagai akar pengetahuan geografi moderen. Akan tetapi buah emas itu juga yang kemudian menjadi sumber malapetaka terbesar sepanjang sejarah kekuasaan politik para Raja dan Sultan-sultan Maluku Kie Raha berikutnya. Terutama bagi Ternate dan Tidore, dua rival yang tak pernah akur dipanggung peradaban. Dua pulau kecil, dua pendirian sekeras basalt gunung api, bahan dasar kedua pulau vukanik. Itulah Ternate dan Tidore, dua kawah peluap lahar iri hati dan persaingan penuh dengki dalam lomba siapa-siapa yang perdana, masing-masing dengan sultan dan beserta kaum sangaji, bobato dan kimelaha yang sama-sama angkuh, membawahi para nakhoda dan juanga-juanga, kora-kora, galai-galai, dan lakufunu, terisi sekian ribu jago kelahi. Itulah Ternate dan Tidore, dua bintik kecil hampir saling menghimpit, dua saudara kembar dari satu telur, tetapi mati-matian saling remuk-meremuk. Demi apa?. Demi gengsi dan harga diri yang membubung menggulung-gulung seperti asap-asap zat arang dan belerang vulkan-vulkan mereka. (Yulian Tamaela 2015:267-269)

Rum, siokona magogoru naro-naro, ditempat ini dulu Juan Anonio De Elcano & Raja Sultan Manzoor pernah berhadap-hadapan, head to head bertukar kepentingan. Satu bandar, dua kuasa bertemu. Tapi sekarang ia hanya punya sebuah tugu batu tua sebagai pengenang. Menjadi saksi bisu, bernostalgia dengan masa lalu gemilang yang terabaikan. Rum, darimanakah nama bandar tua ini berasal. Hanya sebuah nama dari masa lalu saja, tempat orang dagang dan para kuasa pernah bertemu. Ataukah sebuah bandar untuk mengenang Roma yang agung tapi naif nun jauh disana. Entahlah.  

Salam

Senin, 18 November 2019

Nyala Spirit Grecele - Heroes

Nyala Spirit Grecele

'Kemana perginya teriakan grecele...?'

Akademisi, Penulis
Nyala Spirit Grecele
Foto: Pemancing Cakalang/Ghazali Hasan.

 19/11/2019 ·  3 Menit Baca

TOMALOU merupakan kisah yang terpuruk. Tatkala Pemerintah Daerah mendorong bidang perikanan  menjadi komoditas unggulan saat ini,  sebaliknya, nyanyi nelayan Tomalou “tak lagi terdengar”. Ketika geriap modernitas menyapu semua lini bidang pembangunan, Tomalou makin kehilangan spirit, dan para nelayan tak lagi ramai melaut.

Tomalou, sebuah desa arah Tidore Selatan dengan penduduk kurang lebih 5000-an jiwa, merupakan kisah hilangnya sebuah perhatian. Tatkala rombongan perahu nelayan tradisional ditarik dari pantai, dan teriakan yang menghentak : “grecele” membahana, tapak-tapak kaki kokoh menyeret perahu membelah laut, dan meninggalkan garis panjang di pantai menjadi penanda betapa panjangnya semangat para nelayan warga Tomalou. Tapi garis panjang, guratan, dan gerusan, juga turut memberi tanda betapa rapuhnya semangat itu, ketika gelombang air laut menghapusnya perlahan.

Grecele merupakan nyala spirit yang menjadi “komando”–dan hampir separuh daerah di pesisir Maluku Utara memiliki pelecut semangat ini. Kini, di langit Tomalou tak lagi terdengar gelegarnya. Grecele kehilangan resonansi, grecele tenggelam dalam hiruk-pikuk pencari kerja, ketika mata pencarian sebagai nelayan mulai ditinggalkan pelan-pelan, dan tak lagi menjadi kebanggaan warganya.

Kebanggaan nelayan Tomalou, kini berubah menjadi cerita pengantar tidur bagi generasi saat ini. Generasi milenial, yang tak lagi mengenal semua itu. Lalu, kebanggaan itu hanya tinggal kenangan. Jejak-jejak kebanggaan itu sudah terbenam dalam memori. Entah kapan bisa bangkit lagi.
  
Potensi perikanan menjadi sesuatu yang seksi, tatkala semua orang membicarakannya. Tak pandang pejabat atau masyarakat kecil. Bahkan menurut data dan hasil analisis, bidang perikanan mampu menjadi “tabungan” bagi kesejahteraan daerah ini untuk sekian generasi ke depan. Bayangkan, kita memiliki potensi subsektor perikanan dan kelautan (standing stock) sebesar 694.382,48 ton per tahun dengan potensi lestari sebesar 347.191,24 ton per tahun, dan baru dapat dimanfaatkan sebesar 26,51% atau sekitar 92.052,21 ton per tahun.


 
Pada sisi lain, sub-sektor perikanan dan nelayan juga bernasib sama. Tak mampu bangkit berdiri. Bahkan melahirkan ketimpangan relasi antara negara dan masyarakat ini.

Nelayan kian terkucil, dan bidang perikanan menjadi kebijakan yang tetap “mandul”. Bahkan di beberapa daerah, konflik nelayan buruh dengan para pemilik alat tangkapan kian terbuka. Sebaliknya, pada masanya, di Tomalou, nelayan justru menjadi pemilik alat tangkap/alat produksi (pajeko). Tak ada hubungan produksi, tak ada konflik. Nelayan Tomalou merupakan potret nelayan humanis-profesional yang tanpa seremoni, tapi mampu menjadi lumbung produksi ikan terbesar saat itu. Mereka tumbuh mandiri. Melalui fiber mereka memasok cakalang dan tuna, melalui pajeko mereka menyumbang sorihi dan komo. Di Tomalou, modal sosial itu dirawat dan dijaga. Tomalou, barangkali tesis Marx tentang relasi pemilik alat produksi dan bukan pemilik alat produksi tak bertempur mati-matian. Sebaliknya, saling menghidupi
.
Merujuk data (lama) produksi perikanan tangkap Kota Tidore Kepulauan untuk cakalang sejak tahun 2005 (2671,39 ton), tahun 2006 (2671,4 ton), tahun 2007 (4.502,74 ton) dan tahun 2008 (4727,8 ton). Lalu ikan tuna, tahun 2005 (298.09 ton), tahun 2006 (298.1 ton), tahun 2007 (785,06 ton) dan tahun 2008 (824,31 ton)  [Profil Wilayah Kota Tidore Kepulauan 2009]. Apakah ini disuplay dari nelayan Tomalou dan lainnya, saya belum tahu. Tapi angka-angka tersebut cukup memberikan kita asumsi betapa besar produksi ikan yang ada, tahun-tahun itu. Lantas, kini? kemana perginya semangat grecele?

 

Bagi saya, grecele, selain sebagai nyala spirit, juga menyemburatkan sebuah etos dan kemampuan bertahan di tengah gempuran dan tantangan (endurance). Warga Tomalou bukanlah the quitters, mereka yang cepat menyerah dan gagal. Warga Tomalou merupakan the climbers, bila merujuk pada kategori pendaki, yakni mereka yang tidak mengenal rintangan, jatuh tapi terus bangkit, lalu melanjutkan perjalanan lagi dan berhenti ketika tiba di puncak. 

Warga Tomalou, Sang Grecele, kini sudah berada di “puncak” dari hasil kerja panjang mereka. Namun gurat sendu masih terlihat, karena spirit mereka tak terlihat di lautan, berjibaku dengan tantangan. Mereka kini, lebih berjibaku dengan pekerjaan-pekerjaan apa adanya, bahkan beralih sebagai tukang ojek dan sebagainya. Pajeko dan fiber sudah tak lagi ramai terlihat berderet memanjang di bibir pantai Tomalou. Tersisa satu dua pajeko dan fiber di sana, dan pada akhirnya, tak ada yang tersisa.

Tomalou, kawasan nelayan yang tangguh, yang pernah dilambangkan pada gerbang desa dengan simbol perahu fiber dan ikan cakalang kini tak terlihat lagi. Secara tidak langsung, ini menunjukkan "runtuhnya" ketangguhan nelayan Tomalou. Sebaliknya, warga Tomalou, saat ini mulai mengembangkan kemampuan anak-anaknya sebagai hafidz/hafidzah (penghafal al-Qur’an). Inilah yang menurut saya, warga Tomalou merupakan the Climbers, memiliki kemampuan beradaptasi di tengah tantangan dengan mempersiapkan generasi penerus.

Tomalou kini tengah bertransformasi. Mempersiapkan generasi Qur’ani yang kokoh menghadang tantangan perubahan jaman. Saya percaya, warga Tomalou dapat menangkap isyarat jaman. Semangat dan nyala grecele ternyata diperuntukkan untuk mempersiapkan sumber daya insani yang kuat. Menghadapi pergerakan pembangunan ekonomi ke depan, semangat grecele sudah harus dijadikan jawaban untuk beradaptasi memperkuat fondasi semangat berusaha bagi generasi ke depan, sehingga semangat Qur’ani, harus diimbangi dengan semangat bekerja. Karena bekerja dalam Islam adalah wajib. Bekerja merupakan beruf (keterpanggilan) dalam istilah sosiolog Jerman, Max Weber, dan ini telah tertanam kuat ketika rumpong bambu sudah tak lagi rimbun di sana.
 
Semangat nelayan merupakan nyala grecele yang harus  terus dihidupkan dan disinergikan sebagai modal dan jaminan dalam kehidupan sosial, apapun tantangan yang akan dihadapi. Spirit grecele harus menjadi “pemicu” untuk warga Tomalou bangkit dengan potensinya ke depan.... Tahun 2020, Festival Tomalou menjadi tapak awal kebangkitan spirit Grecele........Salute[]

Rabu, 06 November 2019

PROLOG GARDA NUKU

Prolog Sekilas GARDA NUKU

Tabea...
Semoga dipanjangkan usia zaman, sehat wal'afiat, selamat dan sentosa.

Generasi Muda Nuku disingkat Garda Nuku sejak didirikan 2005 silam dan dilantik Maret 2006, telah menjadi paguyuban pemuda yang berbeda. Garda Nuku memberi perhatian pada gerakan kultural, adat tradisi, sejarah dan budaya, kesenian, kreatifitas kaum muda, dan mendorong percepatan pembangunan daerah.

Maitara Festival dengan serangkaian kegiatan tradisional, edukasi, kesenian, dan olahraga tiga kali digelar. Kini Pemkot Tidore Kepulauan menjadikannya agenda tahunan. Bersama komunitas Mata Hati melakukan advokasi perlindungan benda cagar budaya, seperti Benteng Tjobe (Spanyol) di Rum Tidore, Benteng Nostra se Nora del Rosario (Portugis) di Kastela, Ternate, dan lain sebagainya.

Sejak akhir 2007 dan awal 2008, Garda Nuku menjadi inspirator, konseptor mendorong reorientasi visi dan program Ikatan Keluarga Tidore (IKT) yang berfokus pada pada aksi sosial kemanusiaan dan dimulailah aksi sosial BARI FOLA Untuk Kemanusiaan juga beberapa kegiatan lainnya.

Sebagai paguyuban pemuda dengan SDM relatif baik, dialektika pemikiran relatif intensif dan dinamis di internal Garda Nuku, terutama keinginan mencari format sebuah gerakan kultural yang eksis dan efektif.

Sebagai bagian dari gerakan sosial, maka gerakan kultural memprasaratkan adanya orientasi nilai yang kuat (ideologis) selain kelembagaan, modal sosial dan konsepsional. Muncul pula kegelisahan bagaimana membumikan falsafah kebudayaan kesultanan-kesultanan Moloku Kie Raha yang terbukti sangat ampuh membentuk pribadi pemimpin sekaliber Sultan Nuku, Syaifuddin 'Jou Kota', Khairun, Baabullah, Sultan Banau, dan lain sebagainya, dengan kiprah dan pencapaian mereka yang besar.

Diskursus itupun pada kesadaran menjadikan Sultan Nuku Amirudin, yang merupakan satu-satunya Pahlawan Nasional dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara), sebagai simbol pemersatu dan inspirator Gerakan Kultural generasi Moloku Kie Raha kini dan nanti, agar bersedia secara konsisten menjadikan "Marimoi Ngone Futuru" sebagai sejatinya tekad dan kesadaran mendorong pihak kesultanan, pemerintah daerah dan masyarakat untuk peduli merumuskan masa depan bersama Persekutuan Moloku Kie Raha yang maju, sejahtera dan berkeadaban.

Memulai maksud dan tujuan besar tersebut, Garda Nuku sungguh menyadari perlu membenahi dan memperkuat kelembagaan. Diskusi mendalam lebih satu tahun memuncak pada beberapa simpulan pokok:

Pertama, segera merevitalisasi kepengurusan dengan kepemimpinan baru, visi dan tekad baru yang lebih fokus dan terarah. Pada 28 Juni 2016 Miladiyah atau 23 Ramadhan 1437 Hijriyah, pimpinan baru terpilih melalui musyawarah mufakat Dewan Pembina yang menunjuk dan mengangkat  ABDULLAH DAHLAN dan BUDI JANGLAHA sebagai Ketua dan Sekertaris Umum, serta SUTOPO ABDULLAH dan HAMID SALASA sebagai Bendahara Umum dan Wakil Bendahara. Mereka berempat dibantu oleh beberapa mede formateur kemudian menyusun kepengurusan lengkap Garda Nuku periode 2016-2021 atau lima tahun kedepan.

Kedua, Garda Nuku harus menjadi organisasi terbuka dan akomodatif sebagai prasarat konsolidasi kelembagaan dan konsolidasi gagasan mengejewantahi visi besar di atas. Harus pula mempresentasikan potensi kaum muda Moloku Kie Raha. Sejumlah tokoh muda dari berbagai daerah di Maluku Utara direkrut mengisi struktur kepengurusan. Lebih jauh, Garda Nuku akan membentuk kepengurusan di semua kabupaten/kota di Maluku Utara, di beberapa kabupaten di Maluku, Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Tengah, Selatan dan Sulawesi Tenggara, hingga ke Pulau Jawa. Langkah konkrit ke arah sana dilakukan. Kepengurusan di beberapa daerah telah terbentuk.

Ketiga, Garda Nuku segera memantapkan visinya menjadi "Rumah Besar" entitas pemikir, pegiat, pemerhati kebudayaan, adat tradisi tak terkecuali isu dan permasalahan pembangunan daerah yang relevan. Rumah Besar Garda Nuku mulai mengagendakan Gerakan Kultural, memproduksi dan mereproduksi wacana dan diskursus, serta upaya nyata mengembalikan Moloku Kie Raha ke masa depannya, mentransformasikan spirit dan elan vital kebudayaan masa lalu yang unggul untuk menjawab permasalahan hari ini dan tantangan masa depan.

Keempat, Garda Nuku segera mampu merumuskan agenda yang "penting" sekalugus "menarik", sebagai langkah awal yang konkrit mengejawantahkan visi besar yang dimaksud. Setelah melalui beberapa kali pembahasan mendalam, diputuskan untuk memanfaatkan momentum "Haul Nuku" ke 211 Tahun, 14 November 2016 sebagai titik tolak menghelat sejumlah kegiatan monumental, yakni NUKU World Festival, yang diawali dengan ziarah makam para Sultan Moloku Kie Raha, konfederasi idea, menggelar agreemeent persekutuan Moloku Kie Raha, Ratib dan Taji Besi Massal, Ekspedisi Nuku, Monolog Nuku Pangge Pulang, hingga pameran foto dan lukisan religi Kie Raha.

Tujuannya, menjadikan Sultan Nuku sebagai simbol pemersatu dan menghidupkan spirit perjuangan Nuku, mendorong pembelajaran, membina kesadaran, pemahaman dan kecintaan pada budaya, tradisi dan kearifan luhur melalui kegiatan2 kultural, religi, seni dan budaya, serta kegiatan kreatif lainnya. Membina persatuan, kerukunan di dalam daerah, antar daerah berbasis historis-kultural untuk menjaga persatuan dan kesatuan serta kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mendorong terbinanya kerjasama antardaerah, antarwilayah, yang dipandang dapat memberikan manfaat bagi percepatan pembangunan di masing-masing daerah, khususnya pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan, pengembangan Sumber Daya Manusia, transfer pengetahuan dan teknologi praktis untuk mendorong kesejahteraan masyarakat, serta saling upaya-upaya pelestarian tradisi dan budaya daerah.

"NUKU PANGGE PULANG"

Ya...mari pulang. Pulang ke tata nilai luhur kita yang menjunjung "Toma Loa se Banari (Kebenaran dan Keadilan), Suba se Paksaan (Saling Menghormati), Adat se Nakodi (Adat dan Tradisi), Budi se Bahasa (Adab se Tata Krama), Syah se Fakati (Musyawarah dan Mufakat), Ngaku se Rasai (Saling Mengakui dan Menyayangi), Cing se Cengari (Kebersatuan Pemimpin dengan Rakyat), Mae se Kolfino, tede Suba te Jou Madubo (Malu dan Takut, Menujunjung Tinggi Tuhan Yang Maha Tinggi).

NUKU memanggil kita pulang pada titik keberanian untuk gelorakan perlawanan terhadap penindasan, eksploitasi, serta tindakan dan kebijakan koruptif atau kebijakan irasional yang menghambat pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

NUKU memanggil kita pulang ke garis batas yang tegas untuk membedakan antara yang "hak dan yang bathil".

NUKU memanggil kita pulang ke titik berangkat sebenarnya, untuk kembali menata masa depan wilayah persekutuan Moloku Kie Raha, yakni; Maluku Kie Raha, Maluku, Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Tengah, Selatan, dan lain sebagainya, yang maju dan berkeadaban.

Demikian warkatul ikhlas ttg kiprah Garda Nuku.
___________________

Mari Sukseskan NUKU World Festival 14 November 2016.

#NukuPanggePulang
#GardaNuku

Senin, 18 Februari 2019

SEKILAS BENTENG TAHULA DI PULAU TIDORE

Sekitar tahun 1607 atau satu tahun setelah Spanyol menaklukan Ternate, Juan de Esquivel yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Spanyol pertama di Maluku memerintahkan untuk membangun sebuah benteng di Tidore. namun rencana tersebut tidak sempat terlaksana karena kekurangan tenaga kerja.

Kemudian pada masa Gubernur Cristobal de Azcqueta Menchacha (1610-1612) baru dimulai pembangunan, ia memerintahkan untuk membangun sebuah benteng di Tidore yang diberi nama Santiago de los Caballeros de Tidore, pada awal tahun Ia menjabat. Pembangunan benteng ini baru selesai pada tahun 1615 saat Gubernur Spanyol Don Jeronimo de Silva (1612-1617) menjabat dan mengubah nama benteng ini menjadi Sanctiago Caualleros de los de la de ysla Tidore, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Benteng Tahula.

Benteng ini menjadi basis militer Spanyol hingga tahun 1662. Garnisunnya terdiri dari 50 orang tentara yang dikomandani seorang kapten lengkap dengan artilerinya. Benteng ini dibangun di atas sebuah bukit batu di pesisir barat Pulau Tidore. Lokasi yang tepat untuk mengawasi perairan Pulau Tidore.
Setelah Spanyol meniggalkan Maluku benteng tersebut dibiarkan kosong. Pada tanggal 13 maret 1667 Sultan Saifudin (1657-1689) kemudian melakukan sebuah perjanjian dengan Laksamana Speelman dari VOC. Isi perjanjian itu adalah VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas wilayah Papua. Sedangkan bagi Belanda, mereka diberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah Kesultanan Tidore.

Dan pada masa sultan Hamzah Fahroedin (1689-1700) Belanda meminta kepada Sultan untuk menghancurkan benteng tersebut namun sang sultan meminta kepada Belanda agar banteng itu dibiarkan sebagai tempat tinggal dan aset kesultanan.



Rabu, 19 Desember 2018

"Tidak Boleh Ada Air Mata"

Dan waktu liburan itu pun habis. Saatnya, mengantar kembali Alya ke pondok Pesantren Al-Iman Ponorogo. Dari Surabaya ke Madiun kami menumpangi Kereta Api, lamanya perjalanan lebih dari 2 jam. Tiba di Madiun, kami menaiki mobil (grab) ke Ponorogo dengan jarak tempuh lebih dari 30 menit.

Tiba di Pesantren, Alya dan juga santri-santri lainnya disambut penuh ramah. Rata-rata mereka (yang menyambut) adalah para senior yang sudah lulus dan harus mengabdi minimal 1 tahun di pesantren. Mereka menyambut para santri dan mengambil koper, tas, maupun barang bawaan lain untuk diperiksa satu per satu. Ketentuan berpakaian di pesantren sangatlah ketat dan penuh disiplin.

Jujur, inilah yang saya sukai dalam tradisi pesantren. Bahkan dinamika sangat produktif. Hampir tidak ada waktu terbuang percuma/sia-sia. Setiap hari, pagi sampai malam di isi dengan berbagai aktivitas pembelajaran, tentunya di luar jam makan dan tidur; seperti belajar ilmu agama, pengetahuan umum, penghafalan Quran bagi tahfidz, sholat fardu dan sunah, puasa Senin-Kamis, berdzikir, dan lainnya. Saya mengamatinya dengan sangat detail setiap momen dan aktivitas mereka. Saya hanya bisa menggeleng kepala.. "Masya Allah.. sistem pendidikannya luar biasa," gumam saya dalam hati.

Akhirnya, tiba waktunya pamit pulang. Alya meminta kami (ayah, bunda dan 2 adiknya) untuk menunggunya di pintu gerbang pesantren karena dia masih menunaikan Shalat Dzuhur.

Usai shalat, dia pun menghampiri. Kami berpelukan di situ. Yang berkesan bagi saya adalah pesannya. "Ayah, jangan pernah bosan mendoakan Alya." Saya lantas mencium kepalanya dengan mata berkaca. Anak ini memberi isyarat bahwa tidak boleh ada air mata di situ. "Tetaplah menjadi anak yg Tawadhu, Alya. Selalu menjaga hati dan niat segala amal," bisikku pelan di telinganya.

Terlihat Alya berusaha untuk tegar. Ya.. saya melihat dari binar matanya menyimpan kesedihan yang teramat dalam untuk enggan berpisah. Namun anak ini begitu kuat menahan perasaan sedihnya.
Tidak boleh ada kesedihan diperpisahan ini. "Ayah dan bunda menyerahkan sepenuhnya.. semuanya hanya kepada Allah Azza Wa Jalla. Dia-lah Yang Maha Perkasa dan sebaik-baiknya pemberi perlindungan."

Kami pun pamit.. dari pintu gerbang pesantren itu Alya tetap berdiri sambil melambai tangan hingga mobil yang kami tumpangi hilang dari pandangannya.

Barakallah.. Alya.

◻Ponorogo, Selasa 18 Desember 2018.